Rifanfinancindo - Saraf kejepit sudah tak asing lagi di telinga orang Indonesia. Saking familiarnya, saat punggung atau kaki terasa nyeri, orang-orang akan 'mendiagnosis' kondisi tersebut dengan saraf kejepit padahal belum diperiksa langsung sama dokter.
Dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, Aditya Wahyudi, menjelaskan, saraf kejepit merupakan suatu kondisi saat seseorang tiba-tiba merasakan sakit atau nyeri pada area punggung, leher, maupun kaki tanpa penyebab yang jelas. Hal ini bisa dikatakan terjepit ketika jaringan di sekitarnya menekan terlalu kencang seperti tendon, otot, dan tulang.
Baca juga :
Menurut Aditya, tekanan tersebut yang membuat fungsi saraf jadi terganggu. Sesudahnya akan muncul rasa kesemutan, kebas, nyeri mengganggu, dan melemahnya tubuh si penderita.
Aditya melanjutkan bahwa sejumlah kondisi bisa menjadi penyebab utama terjadinya saraf kejepit, di antaranya ketika sedang duduk saat bekerja tapi tidak memposisikan badan dalam keadaan benar. "Selain itu penyebab lainnya adalah adanya gangguan seperti rheumatid arthritis. Bahkan, orang-orang obesitas memiliki kecenderungan lebih tinggi mengalami saraf kejepit" katanya seperti dikutip dari rilis yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 31 Agustus 2020. Syarat Tangani Saraf Kejepit Harus Lewat Operasi Pada beberapa kasus, lanjut Aditya, saraf kejepit membutuhkan tindakan operasi. Namun, dia mengingatkan, jika seseorang mengalami sakit punggung bagian bawah yang tidak kunjung sembuh dan dokter menyatakan saraf kejepit serta harus segera operasi hanya dari pemeriksaan MRI, tak ada salahnya memilih second opinion. "Bila harus segera operasi hanya dari pemeriksaan MRI bukan dari pemeriksaan fisik yang detail, dapatkan second opinion dari dokter yang tepat," ujarnya. Sebab, sakit atau nyeri punggung sendiri bisa terjadi karena beberapa hal. Ada pun penyebab tersering nyeri punggung adalah sindroma piriformis, kerusakan sendi sakroiliacal, dan kerusakan sendi facet. Itu semua, kata Aditya, tak tampak dengan dengan MRI apalagi dengan pemeriksaan X-ray yang lebih murah. "Sementara untuk saraf kejepit yang harus dioperasi, harus disertai dengan gangguan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), baal, dan kelemahan otot-otot tungkai dan kaki yang semakin berat dalam waktu singkat. Jika tidak ada gejala seperti ini, tidak perlu operasi," ujar dokter yang juga ahli otot-sendi dan cedera olahraga dari Klinik Utama Halmahera Medika Bandung. Pengobatan Tamabahan untuk Tangani Saraf Kejepit Pada kasus yang ringan, pengobatan saraf kejepit bisa dilakukan dengan latihan fisik seperti renang yang ditambah dengan pemberian susu yang mengandung colostrum. "Fisioterapi renang itu hanya latihan fisik luar. HNP saraf kejepit itu sakit saraf bagian dalam jadi harus diobati dari dalam juga. Susu yang mengandung colostrum ini bisa memerbaiki organ dalam secara menyeluruh," kata Ust Chumaidi Mudir dari Rehab Hati Surakarta. Ust Haidar Salim, Terapis dan Herbalist dari Sukoharjo, menambahkan, sakit saraf kejepit berawal dari adanya masalah di tulang belakang. Di sepanjang ruas tulang belakang, terdapat banyak sekali saraf penting yang terhubung ke organ-organ tubuh manusia. "Jika saraf-saraf tulang belakang tidak mendapatkan nutrisi dengan baik, akan menyebabkan energinya melemah dan berdampak terhadap kinerja organ-organ tubuh yang terhubung dengan sarap menjadi tidak normal dan munculnya berbagai macam penyakit katanya," katanya. Ada pun fungsi dari susu yang mengandung colostrum adalah memerbaiki jaringan dan saraf yang kejepit dengan bantuan Colostrum dan Immunoglobulinsnya. Dan juga menghilangkan pegal atau nyeri atau kaku karena asam laktat yang menumpuk pada tubuh. Peminat Susu Khusus Saraf Kejepit Saat ini, susu dengan kandungan colostrum untuk membantu mengobati saraf kejepit sudah banyak dijual bebas. Salah satunya di toko daring Syaraf Kejepit. CEO syarafkejepit dot com, Aldrig, mengatakan, dalam sehari tokonya mampu menjual 20 sampai 30 kaleng susu Bovine Colostrum ke seluruh Indonesia. "Rata-rata keluhan mereka adalah saraf kejepit di pinggang dan leher," katanya. Rifanfinancindo. Sumber : Liputan 6
0 Comments
Rifan Financindo - Perokok memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi terinfeksi COVID-19. Selain itu, studi yang masih dijalankan juga menunjukkan selain jatuh dalam kondisi yang berat, biasanya perokok lebih lama pulih dari COVID-19 seperti disampaikan dokter spesialis paru konsultan Feni Fitriani.
"Kami masih melakukan penelitian, angka tidak bisa kami sebutkan. Bahwa memang yang jatuh dalam kondisi berat yang merokok dan biasanya yang cepat pulih itu yang tidak memiliki kebiasaan merokok," kata Feni dalam talkshow di YouTube BNPB pada Jumat (28/8/2020). "Itu fenomena yang kami temukan," lanjut Feni.
Baca juga :
Menurut Feni hal tersebut memang wajar terjadi. Saluran napas pada orang yang tidak merokok tentu lebih bersih dan sehat dibandingkan perokok. Kondisi organ paru yang sehat lebih mampu bertahan dibandingkan milik perokok yang sudah alami peradangan dan infeksi.
"Saluran napas yang selama ini bersih dibandingkan yang sudah terkena radang, sudah bagian banyak yang rusak. Begitu kena virus dengan serangan hebat tentu yang lebih mampu bertahan pada orang dengan organ (paru) yang sehat," tutur dokter yang praktik d RSUP Persahabatan ini. Efek jangka pendek dari merokok diantaranya adalah saluran napas iritasi, sel-sel imunitas di saluran napas turun. "Hal ini memudahkan terjadi iritiasi, mudah masuk kuman dan terinfeksi," kata Feni. Kenapa Perokok Lebih Berisiko Kena COVID-19? Salah satu penyebab perokok lebih berisiko terkena COVID-19 salah satunya kehadiran reseptor angiotensin-coverting-2 (ACE2) yang jumlahnya lebih banyak dibanding bukan perokok. Reseptor ini normal ada di tubuh manusia, kata Feni, tapi pada perokok jumlahnya lebih banyak. "Reseptor inilah salah satu tempat menempelnya virus COVID-19. Jadi orang yang merokok dia punya reseptor tempat menyediakan tempat untuk virus COVID-19," kata Feni. Faktor lain yang membuat risiko perokok lebih tinggi terkena COVID-19 adalah asap rokok. Kehadiran asap sistem imunitas atau kekebalan tubuh terutama pada saluran napas seperti disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto beberapa waktu lalu dari BNPB. Lalu, perokok cenderung memiliki penyakit komorbid. Penyakit seperti jantung, diabetes, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit komorbid yang banyak diderita perokok. "Hampir penyakit komorbid itu ditemukan pada perokok," katanya. Alasan selanjutnya, perokok berulang kali mengisap batang rokok ke mulutunya, sehingga transmisi dari tangan yang belum tentu bersih besar sekali. "Transmisi meningkat, terhirup lewat tangan (yang terinfeksi)," katanya. Rifan Financindo. Sumber : Liputan 6 |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
April 2021
Categories |