Rifanfinancindo - Stunting tak cuma dialami anak dari keluarga kurang mampu. Menurut pembicara dari Institut Gizi Indonesia Fasli Jalal ada sekitar 30 persen anak orang kaya yang stunting.
"Jadi, stunting ini tidak hanya fenomena orang miskin tapi juga orang kaya yang pola asuhnya salah kendati memiliki fasilitas," kata Fasli saat workshop seputar program intervensi gizi terintegrasi untuk anak stunting di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Jika ada 30 persen anak dari keluarga kaya yang alami stunting, pada anak keluarga miskin sebanyak 40 persen yang mengalami kekurangan gizi kronis tersebut seperti dilansir Antara. Sehingga, kata Fasli, perlu penyadaran pola pengasuhan kepada keluarga yang tidak miskin.
Baca juga :
"Stunting adalah anak yang tidak tumbuh sesuai umurmnya. Jadi, perkembangan anak itu punya standar dan setiap anak punya titik minimal, kalau tidak sesuai disebut stunting," kata Fasli.
Jika stunting sudah terjadi, selain pendek efek lainnya adalah sel otak tidak berkembang maksimal. Alhasil, kecerdasannya pun jauh lebih rendah dibandingkan anak yang tidak stunting. Di kesempatan yang sama Fasli menjelaskan penyebab stunting ada tiga. Yakni, makanan tidak cukup masuk ke perut anak, ada makanan tapi tidak tahu cara menggunakannya kemudian sari makanan dicuri oleh cacing di perut atau adanya infeksi berulang. Menurut Fasli, penanganan stunting di Sumatera Barat adalah dengan peran sosial. Keluarga besar bersama-sama mengawasi dan memantau gizi anak. Dia pun mengatakan stunting merupakan masalah laten sehingga perlu penanganan bukan oleh orang kesehatan saja. "Kepala daerah yang wilayahnya banyak stunting tidak perlu malu, karena yang paling penting bagaimana bisa cepat melakukan penanggulangan stunting," pesan Fasli. Rifanfinancindo. Sumber : Liputan 6
0 Comments
Rifan Financindo - Kualitas udara buruk dikawasan perkotaan ternyata dapat memicu penyakit asma dan sesak napas.
"Udara buruk bisa membuat saluran pernapasan terganggu dan menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti asma," kata dokter spesialis paru, Samuel, di Siloam Hospital Karawaci, Kabupaten Tangerang. Untuk mencegah terkena masalah pernapasan akibat kualitas udara buruk, Samuel menyarankan masyarakat menggunakan penutup mulut dan hidung atau masker setiap beraktivitas di luar. Terutama pada saat menumpang atau mengendarai roda dua.
Baca juga :
Serta menjaga kesehatan dengan pola makan yang teratur.
Jakarta Diselimuti Kabut Kabut tipis menyelimuti udara di salah satu sudut kota Jakarta, Selasa (10/7). Tingkat polusi di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat sehingga menyebabkan pemandangan menjadi berkabut dan mengancam kesehatan pernapasan. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho) Bagi para para penderita asma, disarankan untuk menyediakan inhaler. Sehingga bila serangan asma datang, tidak panik. "Sayangnya, sekitar 75 persen penderita asma salah menggunakan inhaler. Ini yang menyebabkan, lamanya proses pengendalian pada asma," tutur Samuel. "Seharusnya, usai menggunakan inhaler harus berkumur, karena jika lupa berkumur maka obat itu justru akan memperburuk asma,"tuturnya. Asma merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan melainkan dapat dikontrol dengan cara pengobatan yang benar. Asma pun dibagi menjadi dua yakni, akut dan kronis. Untuk asma akut ebih tepat untuk digunakan pada penyakit yang diderita dalam durasi yang relatif singkat atau dalam waktu yang cepat. Sedangkan istilah kronis digunakan untuk menjelaskan suatu penyakit yang diderita dalam kurun waktu yang lama atau berkembang secara perlahan lahan. Sementara, pada kedua jenis asma itu, penderita diminta untuk terus melakukan pengecekan kesehatan selain dengan penggunaan inhaler agar, terhindar dari serangan asma yang kronis yang dapat berdampak fatal. Rifan Financindo. Sumber : Liputan 6
PT Rifan Financindo - Kecoak yang selama ini dianggap oleh sebagian orang menjijikkan, dikenal memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Sebuah studi terbaru bahkan menemukan bahwa saat ini, mereka mengembangkan kekebalan untuk melawan pestisida.
Dalam jurnal Scientific Reports, penelitian yang dilakukan terhadap kecoak Jerman (Blattella germanica), memperlihatkan resistensi hewan tersebut terhadap pestisida. Sekalipun, zat yang digunakan belum pernah ditemuinya. Para ilmuwan dari Purdue University mengadakan percobaan untuk mengetahui bagaimana mereka bisa mengembangkan kekebalan tersebut. Studi tersebut untuk mengetahui bagaimana cara pemberantasan serta pengendalian populasi dengan lebih optimal.
Baca juga :
"Jika Anda memiliki kemampuan untuk menguji kecoak terlebih dahulu dan memilih insektisida dengan resistensi rendah, itu meningkatkan peluang," kata ahli entomologi, Michael Scharf seperti dikutip dari Science Alert pada Senin (1/7/2019). "Tetapi meski begitu, kita memiliki masalah dalam mengendalikan populasi." Lebih Kebal Terhadap Pestisida Dari beberapa percobaan yang dilakukan, Scharf dan timnya menemukan bahwa beberapa populasi kecoak yang mereka kumpulkan tetap berkembang meski sudah diberikan pestisida. Misalnya di salah satu kelompok di wilayah Danville yang tingkat resistensinya mencapai 16 persen. Mereka juga mencatat bahwa ketika kecoak dalam penelitian terpapar satu jenis pestisida, peluang mereka untuk bertahan hidup lebih baik. Salah satu kasus dalam penelitian ini adalah serangga yang terpapar zat abamektin setiap bulan, lebih kebal terhadap dua pestisida jenis lain yang digunakan dalam studi. Padahal, abamektin dalam studi ini terbilang sedikit berhasil dalam pemberantasan kecoak yang ada di sebuah apartemen di Indianapolis. "Kami melihat peningkatan resistensi empat atau enam kali lipat hanya dalam satu generasi," kata Scharf. "Kami tidak memiliki petunjuk bahwa hal seperti itu, bisa terjadi secepat ini." PT Rifan Financindo. Sumber : Liputan 6 |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
April 2021
Categories |