PT Rifan Financindo - Renang merupakan jenis olahraga yang digandrungi oleh banyak orang mulai dari anak-anak bahkan lanjut usia (lansia).
Menurut instruktur renang asal Bogor, Ir. Karida Sumarno (62), renang adalah olahraga yang cocok bagi lansia karena tidak memberikan dampak negatif jika dilakukan dengan benar. “Renang sebenarnya cocok untuk lansia karena dia tidak ada impact terutama di bagian tumit, lutut, sama tulang ekor. Itu yang sangat berbeda dibanding olahraga yang lain,” ujar Karida dalam webinar Geriatri TV, ditulis Kamis (4/2/2021).
Baca juga :
Manfaat renang yang didapatkan pria yang akrab disapa Aki Ari ini adalah ketenangan, kesenangan, dan kesehatan. Maka dari itu, baginya renang sudah menjadi kebutuhan walau sudah menginjak usia senja.
Ari juga menyarankan kepada para lansia untuk memilih berenang di kolam ketimbang di pantai atau laut. Pasalnya, berenang di kolam akan lebih aman karena kedalaman dan ukuran kolam sudah terukur. “Kalau di laut, saya nggak tahu, nggak terukur apa yang ada di dalamnya itu apa, agak sulit.” Bagi Lansia Pemula Renang Bagi lansia seperti Ari yang sudah mulai berenang sejak tahun 1973, kegiatan tersebut terasa sangat mudah dan tidak berbahaya. Namun, bagi lansia pemula yang baru belajar renang kegiatan ini tidak dapat dilakukan sembarangan. “Bagi pemula lansia itu wajib ada pendamping dewasa, nggak boleh sendiri dan pendampingnya nggak boleh anak kecil.” Hal ini dilakukan sebagai antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mengingat, lansia atau siapapun berpotensi mendapatkan serangan kram ketika berenang. Jika ada orang dewasa yang mendampingi, hal-hal tersebut bisa dihindari. Menurut Ari, walaupun pendamping dewasa itu tidak mahir berenang, setidaknya mereka tetap bisa memastikan keselamatan lansia yang didampinginya. Jika pendampingnya anak kecil, maka dikhawatirkan ia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menyelamatkan lansia jika hendak tenggelam atau dalam keadaan genting lainnya. PT Rifan Financindo. Sumber : Liputan 6
0 Comments
Rifanfinancindo - Membesarkan seorang remaja menjadi tantangan sendiri bagi orangtua. Saat anak menginjak usia remaja, para orangtua akan dijejalkan berbagai problematika khas remaja.
Orangtua pun dituntut mampu membimbing anaknya mengatasi problematika tersebut. Seperti memberikan tips ketika anak remajanya untuk pertama kali jatuh cinta pada lawan jenis, dan lain sebagainya. Namun, para orangtua tidak perlu khawatir, karena nyatanya, membesarkan seorang remaja tidak akan terlalu rumit.
Baca juga :
"Sebenarnya, ada beberapa jawaban mudah dalam mengasuh remaja. Perlu lebih banyak waktu dan energi untuk mengetahui mengapa anak Anda berperilaku seperti itu, apa yang mungkin mereka perjuangkan, dan bagaimana Anda harus menanggapinya," ujar Psikolog anak yang berbasis di Boston Amerika Serikat, Ellen O'Donnell, PhD dikutip laman Insider.
O'Donnell menjelaskan, cara mengasuh remaja yang salah, biasanya terjadi karena para orangtua termakan mitos-mitos pengasuhan remaja yang beredar luas, terutama di internet. Maka dari itu, penting bagi orangtua mengetahui mitos-mitos ini, agar mereka dapat membesarkan anak remajanya dengan tepat. Dilansir laman Insider, berikut 5 mitos membesarkan seorang remaja: 1. Berbicara kepada remaja tentang seks, membuat mereka ingin melakukan lebih banyak seks Psikolog anak dari New York City Lea Lis mengatakan, banyak orangtua keliru, karena percaya bahwa mendiskusikan seks dengan anak-anak mereka atau mendidik mereka tentang alat kontrasepsi, akan memotivasi mereka untuk menjadi lebih aktif secara seksual. Namun, Lis menjelaskan, berdasarkan studi di tahun 2019, ketika remaja melakukan percakapan yang sehat tentang seks dengan orangtua mereka, hal itu justru dapat membantu mengurangi kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku seksual berisiko, seperti kehamilan di luar pernikahan, dan tertular berbagai penyakit seksual. 2. Remaja laki-laki akan selalu nakal Gagasan ini disebut Lis, adalah generalisasi terhadap semua laki-laki, dan merupakan stereotip yang sudah ketinggalan zaman. "Gagasan bahwa anak laki-laki tidak dapat mengontrol dirinya, dan 'dilahirkan untuk menjadi nakal' tidak hanya sepenuhnya tidak benar tetapi juga melanggengkan mitos tentang gender," kata Lis. Lis mengatakan, bisa sangat berbahaya untuk mengandalkan pola pikir ini dalam hal mengasuh remaja laki-laki, karena hormon melonjak dan kadar testosteron mereka meningkat sepuluh kali lipat. Menurut American Psychological Association (APA), menganut "ideologi maskulinitas tradisional" telah terbukti membatasi perkembangan psikologis laki-laki, membatasi perilaku mereka, menyebabkan konflik peran gender, dan secara negatif mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka. APA juga melaporkan bahwa jika orang tua terus menggunakan pola pikir ini, maka akan meningkatkan kemungkinan remaja laki-laki terlibat dalam penyerangan atau penindasan. 3. Hukuman fisk lebih efektif Lis mengatakan, hukuman fisik malah bisa memaafkan perilaku agresif atau kekerasan pada anak-anak. Sementara O'Donnell menyebut, hukuman fisik akan mengikis kepercayaan pada hubungan orangtua dan remaja. Berdasarkan studi di tahun 2006, remaja yang lebih cenderung terlibat dalam perkelahian dan intimidasi, melaporkan bahwa orangtua mereka menggunakan hukuman fisik sebagai metode pendisiplinan. Sedangkan remaja yang menganggap orangtua mereka tidak menyetujui kekerasan fisik, cenderung tidak menggunakan perilaku negatif tersebut. Daripada menghukum anak remaja secara fisik ketika mereka berperilaku tidak baik, APA merekomendasikan untuk berfokus pada memuji perilaku positif yang mereka lakukan. Namun, jika remaja berperilaku sedemikian rupa sehingga membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyarankan, agar tidak mengabaikan remaja tersebut. Kemudian, beri tahu mereka bahwa perilaku mereka tidak baik, coba dan terapkan konsekuensi negatif, seperti mengambil salah satu hak istimewa mereka. 4. Orangtua yang baik tidak kehilangan kesabaran Para ahli menyarankan agar para orang tua tidak menahan diri pada standar yang tidak realistis. Sebagai manusia yang tidak sempurna, orangtua terkadang kehilangan kendali saat merasa kewalahan. Alih-alih menyerah pada rasa malu atau rasa bersalah, orangtua disarankan untuk mengakui dan meminta maaf kepada anak remajanya, jika amarah orangtua telah melebihi batas. Dalam beberapa kasus, ketika perilaku remaja tidak pantas, tetapi tidak berbahaya bagi siapa pun atau diri mereka sendiri, Lis mengatakan lebih baik mengabaikan anak remaja tersebut, daripada berteriak-teriak pada mereka. Berdasarkan studi di tahun 2013, "disiplin verbal yang keras" sangat merusak untuk remaja, yang cenderung memiliki masalah perilaku dan bertingkah laku jika mereka mengalami teriakan. 5. Bertengkar di depan remaja akan berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya Para ahli setuju, bahwa sulit untuk mencegah pasangan suami istri untuk tidak bertengkan di depan anaknya. Maka dari itu, menurut O'Donnell, orangtua harus mencontohkan jenis konflik yang sehat. "Situasi ini (pertengkaran orang tua), bisa menjadi pelajaran hidup terbesar bagi remaja," ujar Lis. Sebuah studi di tahun 2006 terhadap anak-anak yang berusia antara 9 sampai 18 tahun, menemukan bahwa konflik orangtua tidak berbahaya jika mampu diselesaikan. Namun, ketika konflik ini tetap tidak terselesaikan, anak-anak dapat merespons dengan depresi, kecemasan, atau masalah perilaku lainnya. Korelasi antara perselisihan antar orangtua dan ketidakamanan emosional bahkan lebih kuat pada remaja daripada anak-anak yang lebih kecil. Seorang penulis utama studi tersebut menyimpulkan, bahwa orangtua harus selalu berupaya menemukan penyelesaian untuk perkelahian mereka, dan mengomunikasikan penyelesaian tersebut kepada remaja mereka.Rifanfinancindo. Sumber : Liputan 6
Rifan Financindo - Kebanyakan orang akan menganggap keluhan jari terasa pegal atau kaku setelah berjam-jam bekerja dengan jemarinya merupakan sesuatu yang wajar. Padahal, perlu diketahui bahwa kaku pada jari bisa jadi merupakan gejala dari penyakit yang lebih serius, seperti trigger finger.
Menurut dokter spesialis bedah ortopedi Rumah Sakit (RS) Pondok Indah, dr. Rizky Priambodo Wisnubaroto, trigger finger merupakan kondisi saat selubung pelindung di sekeliling tendon jari mengalami peradangan, yang menyebabkan jari kaku dalam posisi menekuk. Hal tersebut biasanya terjadi, saat seseorang terlalu sering dan terus-menerus bekerja menggunakan jarinya.
Baca juga :
"Seperti juru masak atau mengetik, itu kan menyebabkan iritasi atau inflamasi pada jaringan ikat jari, kemudian akan menyebabkan pembengkakan sehingga jari kita akan terkunci pada posisi flexy atau menekuk," ujar Rizky dalam diskusi virtual, Jumat (29/01/2021).
Rizky menjelaskan, terdapat beberapa gejala dari trigger finger yang dapat dikenali, seperti jari yang terasa terkunci pada posisi melekuk, ada bunyi "klek" saat jari diluruskan atau ditekuk, kaku pada jari yang lebih didominasi pada waktu pagi hari, dan biasanya, membutuhkan bantuan tangan lain untuk meluruskan jari yang kaku. "Kalau malam hari itu tendon jari kita akan lebih besar sedikit, sehingga terasa nyerinya itu saat pagi hari," jelas Rizky. Risiko seseorang terkena trigger finger, disebut Rizky cukup besar, karena berdasarkan catatannya, 2 hingga 3 persen orang di seluruh dunia mengalami kondisi itu. Kasus Trigger Finger Didominasi WanitaMenurutnya, jumlah kasus trigger finger didominasi oleh wanita. "Wanita 2 sampai 6 kali berpotensi lebih tinggi terkena trigger finger," ucapnya. Namun, saat ditanya alasannya, Rizky menjawab tidak ada hubungan pasti antara wanita dengan trigger finger. Tapi berdasarkan data yang ia terima, jumlah penderita trigger finger berjenis kelamin wanita, jauh lebih banyak ketimbang pria. Senada, Rizky juga menjelaskan bahwa orang yang menderita diabetes melitus, berpotensi mengalami trigger finger 5 hingga 7 kali lebih tinggi. "Sampai saat ini belum diketahui alasannya, tapi memang jumlah orang terkena trigger finger banyak yang berasal dari pasien diabetes melitus," ujar Rizky. "Jadi belum diketahui sebab akibatnya antara dua penyakit itu," tambahnya. Selain itu, Rizky juga mengatakan, trigger finger biasanya diderita oleh seseorang dengan usia 30 tahun keatas, dan biasanya menyerang jari manis dan telunjuk. "Meskipun ada kasus jari lainnya, tapi paling sering itu (jari manis dan telunjuk)," katanya. Apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat, menurut Rizky, trigger finger dapat menyebabkan beberapa masalah serius pada jari. Rifan Financindo. Sumber : Liputan 6
PT Rifan Financindo - Upaya untuk melindungi diri dari penularan COVID-19, salah satunya bisa dengan membawa hand sanitizer ke mana pun Anda pergi.
Alhasil, tiap-tiap perusahaan berlomba-lomba mengembangkan produk hand sanitizer sehingga orang semakin banyak pilihan harga hingga aroma. Namun, Anda harus waspada terhadap label yang salah atau bahkan kandungan bahan yang berbahaya yang tidak aman untuk digunakan pada kulit manusia.
Baca juga :
Rifanfinancindo - Anemia adalah masalah kesehatan yang harus dicegah. Jika kondisi anemia dibiarkan dampaknya adalah terganggunya kehidupan dan produktivitas seseorang, hingga bahaya bagi ibu hamil serta bayi di masa depannya.
Profesor Endang L. Achadi, pakar gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan pencegahan anemia dan defisiensi atau kekurangan zat besi pada remaja sangatlah penting. Dalam temu media Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu, Endang mengatakan bahwa yang pertama harus dilakukan untuk mencegah anemia adalah mengonsumsi makanan bergizi seimbang.
Baca juga :
Rifan Financindo - Kusta dapat menyebabkan kecacatan apabila tidak segera diatasi. Sehingga, penting bagi seseorang untuk bisa melakukan deteksi dini terhadap penyakit kustaagar dapat segera diobati.
Zunarsih, Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Sekretaris Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia mengatakan bahwa kunci dari eliminasi kusta adalah penemuan kasus sedini mungkin. "Jadi kalau bisa kita temukan yang belum cacat. Karena jika sudah terjadi kecacatan, maka cacat yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali lagi," kata Zunarsih dalam temu media Kementerian Kesehatan terkait Hari Kusta Sedunia tahun 2021.
Baca juga :
Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk mengenali tanda-tanda dini dari kusta, sehingga bisa segera diatasi sebelum terjadinya kecacatan.
Zunarsih mengatakan, tanda pertama dari kusta adalah munculnya bercak-bercak yang berwarna putih seperti panu atau merah seperti kurap, benjol-benjol seperti jerawat atau bisul, maupun lepuh. "Cuma kata kuncinya adalah bercaknya tidak nyeri, bercaknya tidak gatal," ujar Zunarsih yang juga tergabung dalam Persatuan Dokter Kulit dan Kelamin Indonesia ini, ditulis Minggu (31/1/2021). Harus Segera Datangi Layanan Kesehatan Zunarsih mengatakan, bercak-bercak tersebut seringkali tumbuh di tempat-tempat tersembunyi seperti punggung atau bokong dan tidak nyeri, tidak gatal, serta lambat dalam pertumbuhannya Ia menyebut, seringkali penderita tidak dengan sukarela mendatangi pelayanan kesehatan saat mengalami kondisi tersebut. "Jadi biasanya yang sudah datang yang bercaknya sudah sangat luas, sudah sangat mengganggu, yang tiba-tiba sudah nyeri, atau pasien tiba-tiba mengalami gejala reaksi seperti peradangan saraf yang menjurus kepada kecacatan," katanya. Zunarsih mengatakan, kusta merupakan penyakit yang masa inkubasinya sangat lama, dengan rata-rata dua sampai lima tahun Maka dari itu, apabila masyarakat memiliki kondisi-kondisi di atas yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun, Zunarsih pun mengimbau agar segera datang ke pelayanan kesehatan. Rifan Financindo. Sumber : Liputan 6 |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
April 2021
Categories |